
Valentine, banyak orang memaknai yang positif dan negative, akan tetapi, ketika saya membaca "HarianManuntung hari Senin 16 Februari 2009 , ada sesuatu yang sedikit menarik perhatian saya. Ada sebuah artikel yang berjudul “Kondom pun laris manis…” dan judul tersebut dikaitkan dengan hari Valentine. Entah sudah ada korelasi antara kondom dengan valentine atau belum, saya belum membaca jurnal ilmiahnya. Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa di toko-toko dan apotek yang ada di Kalimantan Khususnya Samarinda, jumlah kondom yang diminta meningkat pesat. Dari 1 produk meningkat menjadi 5 barang yang diminta. Kemudian jumlah kondom yang diminta di sebuah apotek yang dekat kompleks " PSK ", mencapai 20 per hari. Rentang usia pembeli antara 17 hingga 24 tahun. Menurut psikiater PKBI menilai bahwa fenomena ini layak menjadi perhatian para orang tua. Beliau menambahkan bahwa seks jangan sampai dianggap sebagai hal yang tabu dan perlu adanya pemberian pemahaman yang pas kepada anak-anak menurut usia dan tingkatannya—pemahaman yang pas itu seperti apa ya, Bu?– Fenomena yang terjadi dibahas dalam Harian Manuntung pada hari yang sama pada halaman 18 kolom 2. Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyambut baik kabar larisnya kondom di pasar. PKBI memandang adanya kesadaran terhadap ancaman HIV-AIDS menunjukkan kemajuan.
Apa-apaan ini? Sepertinya jaman semakin edan, masyarakat dan bahkan mungkin kalangan intelektual mulai menyingkirkan sedikit demi sedikit etika per-seks-an. Apa itu? Seks hanya boleh dilakukan setelah nikah. Tidak ada dalam ajaran agama manapun yang membolehkan seks pra-nikah, dan membaca dua artikel yang muncul dalam Harian Manuntung sama sekali tidak menyinggung tentang norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Dua-duanya menganggap bahwa seks di kalangan remaja adalah hal yang wajar namun harus hati-hati dengan adanya penyakit HIV-AIDS. Istilahnya dalam bahasa lugas dapat dikatakan bahwa seks monggo, tapi jangan sampai kena AIDS. Padahal AIDS, jika ditularkan melalui hubungan seks, berarti yang dipraktikkan adalah seks bebas. Wah, menurut saya berat sekali masalah masyarakat kita secara makro. Dua artikel tadi jika diibaratkan membuat coret-coret di dinding sekolah, daripada membuat coret-coret yang besar di kantor kepala sekolah, lebih baik coret-coret di meja kantin dan ukurannya pun kecil. Daripada-daripada kan mendingan-mendingan, daripada membuat yang besar, lebih baik membuat yang kecil. Bagi saya toh itu sama saja. Tidak jauh berbeda, alias tetap saja coret-coret, dan coret-coret berarti melanggar aturan-aturan yang ada. Tanggung jawab siapa ini…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar